Thursday, August 23, 2007

Episode Cinta untuk syeikh


"Merendahlah,
engkau kan seperti bintang-gemintang
Berkilau di pandang orang
Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi
Janganlah seperti asap
Yang mengangkat diri tinggi di langit
Padahal dirinya rendah-hina"

(Nushus Arab)


Seperti tak percaya aku mendengar kabar itu: kau sudah pergi untuk selamanya.
Dan kenangan demi kenangan berkelebat cepat di benakku, menyisakan satu nama:
Rahmat Abdullah.

Kita memang tak banyak bertemu, tak banyak bercakap. Tapi percayakah kau, aku
menjadikanmu salah satu teladan diri. Kau menjelma salah satu sosok yang
kucinta. Tahukah kau, hampir tak ada tulisanmu yang tak kubaca? Dan setelah
membacanya selalu ada sinar yang menyelusup menerangi kalbu dan pikiranku.
Tidak sampai di situ, buku-bukumu selalu membuatku bergerak. Ya, bergerak!

Kau mungkin tak ingat tentang senja itu. Tapi aku tak akan pernah melupakannya.
Saat itu kau baru saja pulang dari rumah sakit untuk memeriksakan kesehatanmu.
Aku dan seorang teman menunggumu. Kami membutuhkanmu untuk memberi masukan
terhadap apa yang tengah kami kerjakan. Tanpa istirahat terlebih dahulu, dengan
senyuman dan kebersahajaan yang khas, kau menemui kami. Tak kau perlihatkan
bahwa kau sedang tak sehat. Bahkan kau bawa sendiri makanan dan minuman untuk
kami. Dengan riang kau menyemangati kami.

"Ini kebaikan yang luar biasa," katamu. "Bismillah. Berjuanglah dengan pena- pena itu!" Lalu kami mengundangmu untuk hadir pada acara milad organisasi kecil kami.
Sekadar menyampaikan undangan, dan tak terlalu berharap kau datang, karena kami
tahu kau sangat sibuk dengan begitu banyak persoalan ummat.

Hari itu, bulan Juli 2002, milad ke 5 organisasi kami: Forum Lingkar Pena.
Semua panitia direpotkan oleh banyak hal yang harus dikerjakan. Aku masih
sempat bertanya pada panitia: "Adakah yang menjemput Pak Taufiq Ismail dan Pak
Rahmat Abdullah?"
Panitia menggeleng. Banyak yang harus dikerjakan. Tak ada mobil atau tenaga
untuk menjemput.

Sudahlah, pikirku. Pak Taufiq dan Pak Rahmat terlalu besar untuk hadir di acara
seperti ini.

Aku hampir melompat ketika melihat Pak Taufiq Ismail datang sendirian dengan
taksi dan menyapa kami riang. Dan aku tak percaya ketika tak lama kemudian kau
muncul!
"Ustadz, terimakasih sudah datang. Kami tidak menyangka...," sambutku. Kau tersenyum. "Saya sudah agendakan untuk datang," katamu. "Ini acara FLP.
Istimewa."

Mataku berkaca. Ini ustadz Rahmat Abdullah, ia terbiasa diundang sebagai
pembicara dalam berbagai acara nasional sampai internasional. Dan kini ia sudi
hadir sebagai undangan biasa!

"Maaf ustadz tidak dijemput. Ustadz naik apa tadi?"

Naik bis. Tempatnya mudah dicari," katamu biasa.

Kau sempat turut memberikan award dalam acara tersebut dan memimpin doa
penutup. Aku menangis mendengar doa yang kau lantunkan, Ustadz. Kau
berulangkali mendoakan agar organisasi kami: FLP selalu bisa melahirkan para
pemuda yang tak akan berhenti berjuang dengan pena....

Pada akhir acara, kau turut berjongkok bersama para pemuda lainnya dan
menandatangani spanduk yang kami gelar bertuliskan "Sastra untuk Kemanusiaan." "Saya mencintai sastra dan suka membuat puisi," ceritamu.

Hari itu kehadiranmu benar-benar memberi semangat baru bagi kami. Ustadz, aku selalu mengenangmu sebagai suami dan ayah yang baik dalam keluarga.
Sebagai guru sejati bagi ribuan da'i. Dan ketika kau terpilih menjadi anggota
DPR RI tahun 2004 lalu, tak ada yang berubah darimu, kecuali usaha yang lebih
keras untuk membuat rakyat tersenyum. Dalam keadaanmu yang sederhana, kau tak
berhenti memberi zakat dan infaq dari gajimu. Kau satu dari sedikit orang yang
pernah kutemui, yang sangat berhati-hati dengan amanah dan berjuang untuk
menunaikannya tanpa cacat.
Ah, pernahkah kau meminta tarif untuk mengisi ceramah? Tak ada. Kau bahkan
pernah berkata: "Alhamdulillah ada lagi orang yang mau mendengarkan taushiyah
dari hamba Allah yang lemah ini."

Terakhir kali kita bertemu, Ustadz, di sebuah jalan raya, sekitar akhir tahun
lalu. Dan aku tak percaya, kau-anggota dewan yang terhormat--- masih saja
menyetop kopaja.
Kini dalam usia 53 tahun, kau pun kembali untuk selamanya. Ribuan orang, tak
terhingga orang, datang mengiringi untuk terakhir kali, sambil tak henti
bersaksi tentang keindahanmu.

Selamat jalan, Ustadz. Jalan kebaikan dan cinta yang selalu kau tempuh di
dunia, semoga mengantarkanmu ke gerbang yang paling indah di sisiNya. Amiin.

(Helvy Tiana Rosa)

0 comments:

 

::....mEngGapAiRidhAiLaHi..::: hanya sebuah coretan kecil dari berlembar-lembar cerita yang kulalui Copyright © 2008 Black Brown Art Template by Ipiet's Blogger Template