Wednesday, December 16, 2009

Secangkir Kopi O Suam Untuk Atu Yusuf

0 comments
Cerpen ini karya adikq yang beberapa waktu lalu pernah datang mengunjungiku.....
Secangkir Kopi O Suam Untuk Atu Yusuf
Oleh : fauzi Abdul Halim


Kedai makan Emakku tak pernah sepi oleh pembeli. Selalunya ramai setiap hari. Apalagi kalau musim liburan sekolah dan cuti para pekerja datang, Emakku tak pernah punya waktu luang untuk beristirahat karena pembeli tidak henti-hentinya silih berganti berdatangan. Terkadang Emak kelabakan karena tak ada yang membantu. Sesekali terdengar teriakan Emak dari arah kedai “ Iman, ka sini! Bantulah Emak ni”. Akulah satu-satunya yang Emak andalkan. Pagi-pagi buta sudah harus membuka kedai, merapihkan meja dan kursi, dan menyiapkan segala yang Emak butuhkan. Karena terlambat sedikit saja, para pelanggan lenggang mencari kedai lain.
Negri Selangor sangat khas dengan nasi lemaknya, dan nasi lemak yang paling terkenal lezatnya yaitu di kawasan Pandan Indah yang merupakan jantung negri selangor. Di situlah kedai makan Emakku berada. Di tengah hiruk pikuknya manusia mulai memburu nasib mengejar hidup di pagi hari. Banyak mereka yang sengaja singgah hanya untuk menikmati nasi lemak racikan Emakku. Karena selain tempatnya strategis, nasi lemak buatan Emakku berbeda dengan nasi lemak yang di jual di tempat lain. Begitulah pengakuan sebagian orang banyak. Bahkan kedai-kedai mama yang menjual roti canai isi kari ayam, nasi kerabu, laksa, nasi briyani, tomyam melayu dan termasuk nasi lemak tak mampu menyihir orang yang tinggal di plat India yang letaknya cukup jauh dari komplek Pandan Indah. Padahal mereka harus berjuang melawan berbagai aroma masakan dari arah restoran mama ketika mereka melewatinya menuju kedai Emakku.


Tetapi selalu ada kaum minoritas di balik semuanya. Sekian banyak dari para penikmat nasi lemak Emakku, ada juga sebagian dari mereka yang duduk-duduk di kedai saja sambil menikmati secangkir kopi, mengobrol, terbahak-bahak tertawa karena sesuatu yang mereka anggap lucu bukan karena apa yang mereka obrolkan tetapi bagaimana cara mereka mengkomunikasikannya. Itulah subetnik yang ada di sekelilingku. Atu Yusuf yang aku kenal diantara mereka. Kakek tua yang selalu mengayuh kakinya setiap pagi demi menikmati secangkir kopi di kedai Emak. Masih tetap gagah walaupun usia menenggelamkannya. Rambut uban yang menghiasi kepalanya tidak pernah menggoyahkan langkah-langkahnya. Dan terlihat penampilanya yang casual menunjukan bahwa dia adalah seorang Elthon John yang menyanyikan “ I want love” untuk wanita-wanita melayu. Idealis memang. Lebih idealis untuk seorang Anak muda. Atu Yusuflah berjiwa anak muda yang terperangkap dalam tubuh Kakek tua. Ada yang paling aku suka dari pribadinya. Humoris. Gelak tawa yang membuatku terpancing untuk ikut tertawa. Jelasnya,dia piawai sekali dalam berbicara. Pembicaraan yang seru. Tetapi masih dalam satu tema. Yaitu bercerita. Setiap kali ia duduk di kedai ada saja yang ia ceritakan padaku.
“ Awak tak tau ke, Atu ni dulu pelakon terkenal. P. Ramlee yang pak belalang tu kawan atu dulu”. Aku hanya mengangguk-anggukan kepala saja tanda setuju. Pagi ini tetap sama seperti kemarin. Ribuan burung gagak bertengger di batang pokok angsana berkoak bersahutan, para siswa darjah satu sampai enam yang menunggu bis jemputan sekolah, para pekerja yang berdesakan di transit rapid KL, KLCC yang menjulang kokoh berselimut mentari pagi, hilir mudik taksi tempatan, semuanya menciptakan irama kehidupan Negri Selangor Pandan Indah yang tak pernah sepi. Semunya masih tetap sama. Seperti Atu Yusuf yang datang hari ini ke Kedai. Lenggang kaki sepatu pantopelnya, baju askar yang selalu menempel di tubuhnya, rokok salem yang tak pernah lepas dari mulutnya, menjadi pemandangan yang tak asing bagiku. Sambil duduk berpangku kaki dia mulai mengetuk-ketukan jarinya di atas meja. Tak lama kemudian Atu melambaikan tangannya.

“Hoi…! Macam mana kabar semuanye pagi ni.”atu menyapa semua orang yang ada di kedai. Kami hanya tersenyum, sebagian ada yang acuh dan menggelengkan kepala.
Dan tak lama dia mengangkat tangan kedua kalinya, menyatukan ujung ibu jari dan telunjuk sehingga membentuk huruf O. dan memanggilku. “ Iman, macam biasa ya”. Matanya berkedip sambil tersenyum manis. Begitulah jika ia memesan kopi. Kopi O suam. Kopi hangat tanpa susu. Aku segera mengantar kopi pavoritnya itu ke meja di mana ia duduk.“ Atu pesan ini ke ?”. Aku menarik punggung kursi yang menghadap kearahnya. Kemudian duduk menemaninya.
“ budak pandailah kau ni. Tanpa Atu cakap nak pesan apa, kau dah hantarkan kopi ni ”.dia mengaduk kopi yang aku buat dan meneguknya layaknya segelas air putih. Kemudian kembali menyalakan rokok salemnya dan menghisapnya dalam-dalam. Dia menahannya di dalam dada. Seolah ada nikmat yang maha dahsyat. Aku yakin jika dirontgen maka rongga dadanya dan seluruh isinya berwarna hitam. Kakek ini cerdik juga pintar bukan hanya bercerita. Tapi aku tak habis pikir bagaimana dia bisa tertipu dalam persoalan rokok ini. Dan tak lama dia hembuskan asap rokok tadi.
“ hari ini atu punya cerita yang bagus. Kau mau dengarkan kisah tentang abu nawas tidak ?”
“ ya…ya.Atu. saya mau sekali”. Aku sangat bersemangat setiap kali dia mulai bercerita. Ini akan menambah properti kamus wawasanku yang mungkin nanti aku wariskan kepada anak cucuku.
Akhirnya atu yusuf mulai bercerita. Mengukir mozaik kata dalam memoriku, membuka kotak khayalku sehingga semuanya begitu deskriptif. Cerita abu nawas bukan baru pertama kali ini aku dengar. Berbeda sekali ketika atu Yusuf yang menceritakannya.
“ Abu Nawas bingung bagaimana caranya untuk bisa menangkap angin. Dan dia juga bingung bagaimana cara dia membuktikan kepada raja bahwa yang dia tangkap adalah angin”. Intonasinya begitu pasti. Pelan penuh penghayatan. Memaku tubuhku yang rasa pukau mendengarkan cerita.
“ Akhirnya Abu Nawas mendapat petunjuk, dan dia putuskan untuk menemui Raja keesokan harinya”. Aku begitu khidmat mendengarkan bait demi bait kata yang dia ucapkan pada klimaks cerita. Aku tersihir oleh aura linguistik yang keluar dari baham kakek tua itu. Dan seperti biasa, ending cerita yang membuat aku tertawa terpingkal berhasil dia lakukan. Atu pun sudah tak bisa lagi menahan tawanya. Beliau terpingkal-pingkal tertawa sampai keluar air matanya. Makin lama tawanya makin keras sekali. Kami sering sekali tenggelam dalam tawa.
“ tak terasa matahari sudah berada pada tonggaknya. Panas terik merambah membakar seantero jagat Negri menara kembar. Atu bangkit dari duduknya . Pertanda waktu kunjungnya sudah habis. Dia merogo kantong celananya. Mengambil uang dua ringgit dari dompet lusuhnya dan menaruhnya di bawah cankir kopi.
“ kembalilah ke sini besok. Saya ingin mendengarkan cerita Atu yang lainya. Atu nggak usah khawatir deh nanti saya buatkan kopi spesial buat atu. Gratis lagi.”
“ Ye ke ?”.
“ Ya, betul. Iman janji deh”.
Dia berjalan meninggalkan kedai. Langkah demi langkahnya ku pandangi sampai bayangannya berbaur dengan fatamorgana. Seperti layaknya angin, Atu Yusuf hilang dari pandangan.
* * *

Ku pandangi ujung jalan yang biasa atu yusuf lewati. Sudah dua jam berlalu dari jadwalnya, atu yusuf belum muncul juga. Tak biasanya dia molor hari ini. Aku tahu benar dia tipikal orang yang tidak akan menelan ludahnya sendiri. Teman-teman duduknya sudah berkumpul di kedai Emak seperti biasa. Hanya atu yusuf saja yang belum nampak di antara mereka. Apa mungkin ada yang lebih penting yang harus dia kerjakan hari ini?.ku hilangkan semua keraguan yang berkelebat dalam pikiranku. Ku dekati teman-temannya.
“pak cik, kenapa atu’ Yusuf tidak kelihatan hari ini?”. Aku bertanya kepada Pak Cik Mansyur salah satu teman berkumpul Atu Yusuf.

“ memangnya kamu belum tau man. Dia sedang sakit sekarang. Kemarin Sepulang dari sini para tetangga melihat dia terjatuh pingsan di depan pintu rumahnya. Kasihan kakek tua itu”.
Aku sangat kaget mendengarnya. Tidak pernah aku melihat atu’ Yusuf mengeluh. Apalagi soal sakit. “ Sakit apa dia pak cik ?”. “tak tau sakit apa Atu Yusuf tuh. Kata tetangga yang mememukannya kemarin, dari mulutnya keluar darah banyak sekali.kasian Atu Yusuf”. Sekali lagi pak cik Mansyur hanya bisa mengiba saja.


Ternyata rongga paru-paru atu yusuf sudah tidak mampu lagi berjuang melawan asap rokok yang bersarang di dalam dadanya dan asap sialan itu telah mengumumkan bahwa dialah pemenangnya sekarang. Aku putuskan untuk untuk melihat keadaan kakek malang itu sekarang sambil membawa segelas kopi yang sudah aku janjikan kemarin. Aku melewati satu-satunya jalan yang menghubungkan kedai Emakku dengan rumah Atu Yusuf. Sampai tibalah aku di sebuah pintu tua yang di lapisi terali besi. Kemudian ku masuki ruangan kamar tiga setengah kali empat meter persegi yang klaustrofobis. Hening tak bergeming. Masih ku pegang erat secangkir kopi untuknya. Beberapa orang pun ada di sana menyaksikan kakek tua yang tertidur membaring membeku dalam ranjangnya. Kedua pelupuk matanya tertutup rapat. Kedua tangannya melipat ke dadanya.Sehelai kain kafan siap di tutupkan ke wajahnya. Aku segera mengerti bahwa aku sudah kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupku. Ia meninggal. Kakek tua itu sudah menutup buku ceritanya. Menghapus sejarah hitam putihnya. Sekarang kakek tua itu hanya tinggal cerita yang meninggalkan ribuan cerita. Tak ada lagi langkah-langkah kokoh yang selalu menapaki jalan berduri penuh liku, tak ada lagi tawa riang penuh Simfoni, tak ada lagi secangkir kopi hangat untuk dinikmati. Semuanya hanya tinggal kenangan di pagi hari. Kuletakan secangkir kopi O suam di atas meja di samping di mana ia berbaring. Masih hangat. Sehangat sinar mentari yang menyelinap masuk lewat celah jendela yang menyinari wajahnya yang pucat pasi. Tapi tersenyum.


Cerpen ini saya persembahkan
untuk keluarga di malaysia
Saya rindu kalian berdua
Saya rindu selangor



»»  READMORE...

Sunday, December 13, 2009

Sang Umar Yang Kaya

0 comments
membaca artikel di bawah ini mengingatkanku pada seorang Ukh yang sangat mengidolakan Saidina Umar Bin khatab salah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal dengan keberaniannya. saking terpesonanya dengan sosok sang Umar dengan kepribadian yang sangat istimewa dia banyak menceritakan kisah umar dalam perbincangan kami, Selama ini yang diceritakan hanya tentang ketegasannya saja tapi ternyata Saidina Umar juga seorang yang Kaya harta lho, sebelumnya yang terkenal dengan kekayaannya hanya ada dua sahabat Rasul yang benar-benar sangat kaya, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan. Namun sebenarnya, sejarah juga sedikit banyak seperti “mengabaikan” kekayaan yang dipunyai oleh sahabat-sahabat yang lain. Ingat perkataan Umar bin Khattab bahwa ia tak pernah bisa mengalahkan amal sholeh Abu Bakar? Itu artinya, siapapun tak bisa menandingi jumlah sedekah dan infaqnya Abu Bakar As-Shiddiq.



Lantas, bagaimana dengan kekayaan Umar bin Khattab sendiri? Khalifah setelah Abu Bakar itu dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya. Ketika wafat, Umar bin Khattab meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp 160 juta—perkiraan konversi ke dalam rupiah. Itu berarti, Umar meninggalkan warisan sebanyak Rp 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp 40 juta, berarti Umar mendapatkan penghasilan Rp 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan. Umar ra memiliki 70.000 properti. Umar ra selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk dikonsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk dimakan. Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan.


Menjelang akhir kepemimpinan Umar, Ustman bin Affan pernah mengatakan, “Sesungguhnya, sikapmu telah sangat memberatkan siapapun khalifah penggantimu kelak.” Subhanallah! Semoga kita bisa meneladani Umar bin Khattab. (sa/berbagaisumber/Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khattab/khalifa)
»»  READMORE...

RinDukaH Di@ paDaKu...

3 comments
Alkisah ada seorang hamba Allah yang rajin solat malam dan bermunajat serta berkhalwat dengan Al Kholiq. Setiap malam kedua matanya memerah kerana menangis, mengalir air yang membasahi janggutnya, beliau berbisik-bisik lirih memohon beberapa permintaan dan pengharapan. Dari waktu ke waktu, tahun ke tahun, hingga putih rambutnya tak kunjung jua permintaan beliau dikabulkan oleh Allah.



Setelah puluhan tahun ke depan sejak dia dekat dengan Allah setiap malamnya, tidak juga merubah hidupnya. Sejak puluhan tahun dia mendengar bisikan di atas, tidak juga tampak yang dijanjikanNya. Mulailah timbul pemikiran yang tidak baik dari syaitan. Hingga beliau berkesimpulan, tampaknya Allah tidak meredhai doanya selama ini. Maka pada malam harinya, ia berdoa kepada Allah:

‘Wahai Allah yang menciptakan malam dan siang, yang dengan mudah menciptakan diriku yang sempurna ini. Kerana Engkau tak mengabulkan permintaanku hingga saat ini, mulai besok aku tak akan meminta dan solat lagi kepadamu, aku akan lebih rajin berusaha agar tidaklah harus beralasan bahawa semua tergantung darimu. Maafkan aku selama ini, ampuni aku selama ini menganggap bahawa diriku sudah dekat denganmu!’



Beliau menutup doanya dengan perasaan berat yang semakin dalam dari awal ia berniat seperti itu (mengkhatamkan ibadah solat lailnya). Beliau berbaring dengan pikirannya menerawang hingga ia tak mengetahui bila dia tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi, mimpi yang membuatnya semakin merasa bersalah. Seakan dia melihat suatu Padang luas bermandikan cahaya yang menakjubkan, dan puluhan ribu, atau mungkin jutaan makhluk cahaya duduk di atas betisnya sendiri dengan kepala tertunduk takut. Ketika beliau cuba mengangkat wajahnya untuk melihat kepada siapa mereka bersimpuh, tidak mampu…kepalanya dan matanya tidak mampu memandang dengan menengadah.


Beliau hanya dapat melihat para makhluk yang duduk di hadapan Sesuatu Yang Dahsyat. Terdengar olehnya suara pertanyaan, ‘BAGAIMANA KHABAR HAMBAKU SI FULAN, HAI MALAIKATKU?’ nama yang tidak dikenalnya. Seorang bediri dengan tubuh gemetar kerana takut, dan bersuara dengan lirih,

‘Subhanaka yaa Maalikul Quddus, Engkau lebih tahu keadaan hambaMu itu. Dia mengatakan demikian: ‘Wahai Allah yang menciptakan malam dan siang, yang dengan mudah menciptakan diriku yang sempurna ini. Kerana engkau tak mengabulkan permintaanku hingga saat ini, mulai besok aku tak akan meminta dan solat lagi kepadamu, aku akan lebih rajin berusaha agar tidaklah harus beralasan bahawa semua tergantung darimu. Maafkan aku selama ini, ampuni aku selama ini menganggap bahawa diriku sudah dekat denganmu!’
Ampuni dia yaa Al ’Aziiz, yaa Al Ghofuurur Rohiim?’

Tersentak beliau,_itu kata-kataku semalam_…celaka, fikirnya. Kemudian terdengar suara lagi:

‘Sayang sekali, padahal Aku sangat menyukainya, sangat mencintainya, dan Aku paling suka melihat wajahnya yang terpendam menangis, bersimpuh dengan menengadah tangannya yang gemetar kepadaKu, dengan bisikan-bisikan permohonannya kepadaKu, sehingga tak ingin cepat-cepat kukabulkan apa yang hendak Aku berikan kepadanya agar lebih lama dan sering Aku memandang wajahnya, aku percepat cintaKu padanya dengan Aku bersihkan dia dari daging-daging haram badannya dengan sakit yang ringan. Aku sangat menyukai keikhlasan hatinya disaat Aku ambil puteranya, disaat Kuberi dia cobaan tak pernah Ku dengar keluhan kesal dan menyesal di mulutnya. Aku rindu padanya…rindukah ia kepadaKu, hai malaikat-malaikatku ?’

Suasana hening, tak ada jawaban. menyesallah beliau atas permintaannya semalam, ingin ia berteriak untuk menjawab dan minta ampun tapi suara tak terdengar, bisik hatinya ”Ini aku Yaa Robbi, ini aku. Ampuni aku ya Robbi, maafkan kata-kataku!” mengalirlah air matanya Astagfirullahi’ adzim!! Terbangunlah ia dari mimpi…

Segera beliau mengambil wudhu dan kembali bersujud dengan bertambah khusyuk. Dalam hati beliau berdoa
‘Yaa Allah, Ya Robbi jangan Engkau ungkit-ungkit kebodohanku yang lalu. Ini aku hambaMu yang tidak pintar berkata manis, datang dengan berlumuran dosa dan segunung masalah dan harapan, apapun dariMu asal Engkau tidak membenciku aku rela…Yaa Allah, aku rindu padaMu’

sahabat terkadang kita merasa kecewa ketika doa yang kita pinta tidak Allah Kabulkan, akan tetapi sesungguhnya Allah akan mengabulkan setiap doa hambanya....terkadang kita tidak sadar bahawa Allah akan memberikan apa yang kita perlukan bukan apa yang kita pinta...Allah maha Adil..

semoga kita dapat mengambil hikmah dari cerita tersebut....


»»  READMORE...
 

::....mEngGapAiRidhAiLaHi..::: hanya sebuah coretan kecil dari berlembar-lembar cerita yang kulalui Copyright © 2008 Black Brown Art Template by Ipiet's Blogger Template