Friday, December 26, 2008


Novel ini karya Akhyar....untuk perlombaan cerpen di Jakarta

Sudah lama aku ingin datang ke tanah jajahan nenek moyang kami ini. Dari cerita-cerita yang kudengar, katanya negara itu seperti sepetak tanah yang ditanami pohon uang, sangat kaya. Tapi bukan itu fackor utama yang merayu minatku untuk bertualang hingga kesini, melainkan iklim tropisnya yang membuatku dan kebanyakan orang eropa ingin berwisata ke negara yang lazim disebut Indonesia ini.
Di bandara Soekarno Hatta, seturunku dari pesawat, aku terdiam sejenak. Kubiarkan bola mataku meliar memandangi belahan dunia yang satu ini. Setelah lebih 14 jam jasadku terkurung di dalam pesawat yang suhu udaranya nyaris membekukan sekujur tubuhku, kini kunikmati cahaya matahari terik menjilat kulit putihku dan angin segar memainkan rambut ikal pirang sebahuku. Aku seperti sedang merasakan percikan suasana surga yang selama ini kudambakan. Nikmat sekali. Lamunanku buyar ketika Ann, istriku, meneriakkan namaku. Ternyata ia dan putriku tunggalku ,Karen, sudah jauh disana. Terlihat tawa ringan mereka yang lepas. Entah karena mereka merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan, atau menertawakan kelakuanku yang seperti seekor burung baru dilepaskan dari sangkarnya. Terserah.
Di bandara, Rasyid sudah menunggu kedatangan kami sekeluarga. Rasyid teman kuliahku di Wageningen University . Ia muslim yang baik, ramah, dan kocak. Kami sempat bercerita banyak. Mengulas kembali memori-memori lama semasa kami masih kuliah dan tinggal 1 flat. Satu yang paling aku suka darinya, ia tidak pernah tertawa dengan lelucon yang ia buat, padahal aku dan teman-teman yang lain sudah nyaris terkencing karena tertawa oleh lelucon orang Indonesia ini.
“Rafael, berapa kali road block selama di pesawat?” gumamnya pelan dalam bahasa inggris yang tak lepas dari logat Jawa yang kental, disartai senyum tipis di wajahnya tanpa mengurangi konsentrasi mengendarai mobil.
Istri dan anakku juga menilainya seperti itu. Kocak tapi tidak kurang ajar. Di dalam mobil BMW-nya suasana begitu hangat dan ceria sepanjang perjalanan ke rumahnya sore itu.
Sesampai di rumahnya kami disambut hangat oleh keluarganya. Istrinya juga begitu sopan dan ramah. Aku tidak menjabat tangannya mengingat salah satu cerita yang pernah disampaikan beberapa waktu silam bahwa lelaki atau wanita muslim tidak boleh bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan keluarga dekatnya. Sepasang anak remajanya juga tak kalah ramah. Bahasa Inggris mereka bagus. Malam pertamaku berada di Jakarta begitu berkesan. Aku mulai menaruh hati pada negara ini. Dan orang-orangnya.
***
Jakarta ternyata jauh lebih spektakuler adri apa yang pernah terbayang di benakku selama ini. Apa yang kulihat di TV hanyalah potongan-potongan kecil dari Jakarta yang sebenarnya. Setelah 24 tahun tersekat di dalam suramnya dunia yang terlihat dari negaraku, akhirnya aku dapat melangkahkan kaki ke ‘mantan’ ibukota negaraku yang lama, Indonesia. Kalau bukan karena menjadi seorang fotografer sebuah majalah, kurasa aku tidak akan pernah menginjak kota metropolitan ini. Hayalku bermain sejenak ketika aku berdiri di depan Tugu Monas yang kurus tinggi menjulang menusuk awan. Pantas saja Indonesia memilih untuk melepaskan Timor Timur, tanah kelahiranku itu terlalu jauh dari kemewahan dan dan keluarbiasaan yang tengah kunikmati sekarang. Pikirku sepintas lalu.
Lamunanku terpecah ketika sekumpulan orang –sepertinya terdiri dari dua keluarga—melintas tidak jauh dari tempat aku dan tripod kamera SLR-ku berdiri. Empat orang tempatan—sepertinya—dan tiga orang bule. Salah sorang bule perempuan, kusangka ia seumuranku, menyandang kamera SLR juga. Sepertinya dia fotografer atau orang yang menyukai fotografi. Bukan kameranya yang menarik biji mataku hingga melirik lama mengikuti arah perginya, tapi si empunya yang benar-benar menggoda. Cantik, seksi, nyaris sempurna. Kulemparkan senyum ramah ketika ia balas memandangku. Ia sadar sedang kuperhatikan.
Ciiss…
Ia membalas senyumku. Segera kukemasi tripod dan peralatan yang sedari tadi tengah kugunakan untuk menangkap beberapa foto pemandangan dan aktifitas di sekitar Tugu Monas. Kuurungkan niatku menuggu senja di sini. Ada yang lebih menarik dari sekedar tugu korek api sialan ini. Ternyata Jakarta punya banyak pesona dibalik kepadatan penduduk dan pendatangnya. Jakarta memang indah untuk dinikmati.
***
Jakarta rasanya terlalu sulit untuk kulupakan. Bukan saja tempat dan suasanyanya yang berbeda jauh dengan tanah kelahirannku, tapi orang-orang yang yang kutemui juga. Unik. Dari Tuan Rasyid teman ayahku, kemudian anggota keluarganya, dan pria tadi. Tadi ketika ayah, ibu, dan Tuan Rasyid sekeluarga bersepakat untuk melepas lelah di salah satu sudut taman di sekitar monument nasional Indonesia itu, aku memilih untuk memisahkan diri. Alasannya berkeliling sambil mengambil beberapa foto di sekitar sini. Padahal bukan itu yang kuincar, melainkan seorang lelaki yang melemparkan senyum kepadaku beberapa saat lalu. Sang fotografer berkulit hitam.
Lelah otot mataku bergerak, mencari keberadaan pria berkulit hitam itu. Kulanjutkan langkahku menuju kerumunan orang di sudut yang lain, berharap akan menemukannya. “Kemana dia?” gumamku dalam hati. Sesekali kutoleh juga ke belakang, namun sosok yang kucari belum kelihatan. Aku berdiri sejenak. Aku tahu dia sedang memperhatikanku. Kukeraskan tubuhku, kupejamkan mataku, lalu kumainkan perasaanku. Ada bunyi langkah yang mendekatiku. Di belakang. Agak tergesa, namun tiba-tiba berhenti. Benar, itu dia. Kupalingkan kepalaku ke arahnya sambil membuka mata dan melepas tawa ringan. Melalui sebuah lensa kamera SLR, sang fotografer berkulit hitam mengekerku.
Click… Dapat.
***
Pikiranku sudah mulai tak nyaman. Beberapa firasat muncul di benakku. Sudah lebih setengah jam kami ditinggalkannya, tapi ia belum kembali juga.
“Biarkan Karen menikmati kota Jakarta untuk sesaat…” Aku tak tahu apa Rafael benar-benar bertidak takut akan anaknya yang tak kunjung kembali, atau hanya menghibur diri. Dari raut wajahnya, Ann , sudah terlihat sedikit risau. Matanya sudah mulai liar menerawang, seperti ayam betina yang kehilangan anaknya.
“Lebih baik kita mencarinya. Hari sudah menjelang senja.” Usulku disambut tanpa bantahan. Semua beredar. Istri dan putriku kuperintahkan tetap di tempat. Yang lain kuminta langsung kembali ke tempat ini begitu menemukan Karen. Nanti istriku akan langsung menghubungiku.
Dalam langkah benakku tak berhenti berkata. Ini Jakarta, bukan Amsterdam. Tingkat kriminalnya tinggi, kasus pemerkosaan dan sex bebas sudah menjadi hal lumrah, dan yang paling aku takut Rafael harus kehilangan anaknya di tempat ini. Betapa malunya aku menjadi orang Indonesia, Jakarta tepatnya, kalau semua ini benar-benar terjadi. Astaghfirullah…
Sudah lebih 15 menit aku mencarinya, tapi tetap tiada hasil. Tiba-tiba istriku menelpon.
“Ayah, Karen sudah disini,” seketika kecemasan yang tadi mengusai, menguap. Hatiku lega.
Disana ada seseorang yang tidak kukenal. Kudekati perlahan, seorang pria berkulit hitam dengan kamera SLR tersangkut di lehernya. Refael, Ann, dan Rahman putraku juga sudah disana. Kupercapat langkahku menuju kesana.
“Tomas,” ujarnya tegas memperkenalkan diri padaku sambil menjabat tangan.
“Rasyid.” Mataku tertuju pada sebuah salib besi putih yang digantung di lehernya.
Aku tidak sempat berbicara banyak dengan Tomas, Ia lebih banyak berbicara dengan Karen. Lagipula kami semua harus segera kembali ke rumah. Tak lama lagi azan maghrib. Sebelum berpisah, Tomas sempat menyalamiku sekali lagi. Sehelai kartu nama diberikan pada Karen. Sepertinya Ia tertarik pada Karen, terlebih mereka punya pekerjaan yang sama, Jurnalis.
***
Seorang pemuda berkulit hitam membuka pintu lobi dan bergerak menuju meja resepsionis. Seorang bule cantik berkulit putih mulus—kusangka seumurannya juga—mengikuti di belakangnya.
“Selamat malam. Tolong berikan sebuah double room untuk kami,” sapanya dalam bahsa inggris yang lumayan.
Kubuka database hotel ini melalui seperangkat alat canggih yang di namakan komputer. Kusodorkan beberapa pilihan yang tersedia. Ia pun memilih dengan segera, tanpa terlalu mempertimbangkan. Sepertinya sudah kesetanan oleh nafsunya.
“Maaf, ada membawa surat nikah?” Ia kelihatan kalang kabut begitu pertanyaan itu kulemparkan. Ia berbisik pada ‘nyonyanya’ yang sedari tadi hanya melongok kesana kemari menunggu sang tuan berkulit hitam mendapatkan kunci sebuah kamar di hotel berbintang empat ini.
Sebelum ia angkat bicara lagi, aku segera menjelaskan. “Ada bayaran ekstra 50% untuk pasangan yang belum menikah atau yang tidak membawa surat nikah.” Sang tamu yang terhormat mengangguk setuju. Segera kuselesaikan registrasi mereka, lalu kuberikan sebuah kunci padanya.
Inilah Jakarta. Aku sungguh bangga menjadi rakyatnya. Pintu uang ada dimana-mana, asalkan berani mencoba. Perkara salah benar, itu nomor sekian. Yang penting dompetku tebal. Selamat bersenang-senang kawan. Terimah kasih atas ekstra 50%-nya. Semoga semakin banyak orang seperti kalian yang datang ke hotel ini ketika aku menjadi resepsionis, lumayan untuk jajan sekolah anak-anakku.
***
Tiga bulan kemudian.
Aku semakin tertekan dengan studiku. Tidak lama lagi Ujian Nasional menantiku dan anak-anak sebayaku yang duduk di bangku kelas 3 SMA. Mungkin karena didikan orang tua untuk serius dalam pendidikan agar aku bisa seperti Ayah. Aku ingat kata-kata Ayah, kalau ingin melihat bangsa kita maju, jangan berharap orang lain yang melakukannya, harus kita sendiri yang melakukannya.
Aku sedang bergulat dengan angka-angka dan rumus matematika, tiba-tiba telepon di sebelahku berdering. Segera kuraih benda itu.
“Selamat malam. Saya Rafael. Tuan Rasyid ada?” kuserahkan telefon itu pada Ayah. Kulanjutkan belajarku, tapi telingaku tak bisa lepas dari percakapan di sebelahku. Ternyata bule yang tiga bulan lalu datang ke rumahku itu.
“Astaghfirullah” kalimat itu terlontar panjang setelah Ayah terdiam lama menyimak lawan bicaranya bercakap panjang. Wajah Ayah pun menunjukkan angin tak sedap. Sepertinya ada berita buruk. Kusimak setiap patah kata, ternyata memang benar. Intinya Karen, anak si bule telah kehilangan keperawanannya. Ayah terlihat begitu prihatin mendengar kejadian itu. Yang lebih parahnya, semua itu terjadi di Jakarta. Pasti ayah merasa sangat malu pada kerabatnya itu.
Kini aku semakin mengerti dengan Jakarta. Dulu kupikir betapa bangganya aku lahir dan dibesarkan di Jakarta, sebuah tanah Ibukota negara yang serba ada. Tempat dimana semua aktifitas besar berpusat dan semua hal berkembang dengan pesat. Tapi dibalik itu semua, ada jutaan noda hitam yang tersembunyi dibalik megahnya kota Jakarta.
***
Jakarta
Kubayar mahal kau untuk sebuah kunjungan
Tapi kau rampas hartaku yang paling berharga
***
Jakarta
Aku percaya kau memang surga
Kau siapkan seorang bidadari untukku disana
Untuk sebuah kepuasan seks dalam semalam

***
Jakarta
Kau memang fatamorgana yang menipu
Kupikir kau susu, tapi ternyata kau tuba
***
Jakarta
Mau kubawa kemana mukaku?
Kau permalukan aku di depan sahabatku
***
Jakarta
Inilah duniaku
Dimana uang bisa didapat dengan modal nyali berbelok ke kiri
***
Jakarta
Menjadi wargamu, aku tidak patut bangga

0 comments:

 

::....mEngGapAiRidhAiLaHi..::: hanya sebuah coretan kecil dari berlembar-lembar cerita yang kulalui Copyright © 2008 Black Brown Art Template by Ipiet's Blogger Template