Secangkir Kopi O Suam Untuk Atu Yusuf
Oleh : fauzi Abdul Halim
Kedai makan Emakku tak pernah sepi oleh pembeli. Selalunya ramai setiap hari. Apalagi kalau musim liburan sekolah dan cuti para pekerja datang, Emakku tak pernah punya waktu luang untuk beristirahat karena pembeli tidak henti-hentinya silih berganti berdatangan. Terkadang Emak kelabakan karena tak ada yang membantu. Sesekali terdengar teriakan Emak dari arah kedai “ Iman, ka sini! Bantulah Emak ni”. Akulah satu-satunya yang Emak andalkan. Pagi-pagi buta sudah harus membuka kedai, merapihkan meja dan kursi, dan menyiapkan segala yang Emak butuhkan. Karena terlambat sedikit saja, para pelanggan lenggang mencari kedai lain.
Negri Selangor sangat khas dengan nasi lemaknya, dan nasi lemak yang paling terkenal lezatnya yaitu di kawasan Pandan Indah yang merupakan jantung negri selangor. Di situlah kedai makan Emakku berada. Di tengah hiruk pikuknya manusia mulai memburu nasib mengejar hidup di pagi hari. Banyak mereka yang sengaja singgah hanya untuk menikmati nasi lemak racikan Emakku. Karena selain tempatnya strategis, nasi lemak buatan Emakku berbeda dengan nasi lemak yang di jual di tempat lain. Begitulah pengakuan sebagian orang banyak. Bahkan kedai-kedai mama yang menjual roti canai isi kari ayam, nasi kerabu, laksa, nasi briyani, tomyam melayu dan termasuk nasi lemak tak mampu menyihir orang yang tinggal di plat India yang letaknya cukup jauh dari komplek Pandan Indah. Padahal mereka harus berjuang melawan berbagai aroma masakan dari arah restoran mama ketika mereka melewatinya menuju kedai Emakku.
Tetapi selalu ada kaum minoritas di balik semuanya. Sekian banyak dari para penikmat nasi lemak Emakku, ada juga sebagian dari mereka yang duduk-duduk di kedai saja sambil menikmati secangkir kopi, mengobrol, terbahak-bahak tertawa karena sesuatu yang mereka anggap lucu bukan karena apa yang mereka obrolkan tetapi bagaimana cara mereka mengkomunikasikannya. Itulah subetnik yang ada di sekelilingku. Atu Yusuf yang aku kenal diantara mereka. Kakek tua yang selalu mengayuh kakinya setiap pagi demi menikmati secangkir kopi di kedai Emak. Masih tetap gagah walaupun usia menenggelamkannya. Rambut uban yang menghiasi kepalanya tidak pernah menggoyahkan langkah-langkahnya. Dan terlihat penampilanya yang casual menunjukan bahwa dia adalah seorang Elthon John yang menyanyikan “ I want love” untuk wanita-wanita melayu. Idealis memang. Lebih idealis untuk seorang Anak muda. Atu Yusuflah berjiwa anak muda yang terperangkap dalam tubuh Kakek tua. Ada yang paling aku suka dari pribadinya. Humoris. Gelak tawa yang membuatku terpancing untuk ikut tertawa. Jelasnya,dia piawai sekali dalam berbicara. Pembicaraan yang seru. Tetapi masih dalam satu tema. Yaitu bercerita. Setiap kali ia duduk di kedai ada saja yang ia ceritakan padaku.
“ Awak tak tau ke, Atu ni dulu pelakon terkenal. P. Ramlee yang pak belalang tu kawan atu dulu”. Aku hanya mengangguk-anggukan kepala saja tanda setuju. Pagi ini tetap sama seperti kemarin. Ribuan burung gagak bertengger di batang pokok angsana berkoak bersahutan, para siswa darjah satu sampai enam yang menunggu bis jemputan sekolah, para pekerja yang berdesakan di transit rapid KL, KLCC yang menjulang kokoh berselimut mentari pagi, hilir mudik taksi tempatan, semuanya menciptakan irama kehidupan Negri Selangor Pandan Indah yang tak pernah sepi. Semunya masih tetap sama. Seperti Atu Yusuf yang datang hari ini ke Kedai. Lenggang kaki sepatu pantopelnya, baju askar yang selalu menempel di tubuhnya, rokok salem yang tak pernah lepas dari mulutnya, menjadi pemandangan yang tak asing bagiku. Sambil duduk berpangku kaki dia mulai mengetuk-ketukan jarinya di atas meja. Tak lama kemudian Atu melambaikan tangannya.
“Hoi…! Macam mana kabar semuanye pagi ni.”atu menyapa semua orang yang ada di kedai. Kami hanya tersenyum, sebagian ada yang acuh dan menggelengkan kepala.
Dan tak lama dia mengangkat tangan kedua kalinya, menyatukan ujung ibu jari dan telunjuk sehingga membentuk huruf O. dan memanggilku. “ Iman, macam biasa ya”. Matanya berkedip sambil tersenyum manis. Begitulah jika ia memesan kopi. Kopi O suam. Kopi hangat tanpa susu. Aku segera mengantar kopi pavoritnya itu ke meja di mana ia duduk.“ Atu pesan ini ke ?”. Aku menarik punggung kursi yang menghadap kearahnya. Kemudian duduk menemaninya.
“ budak pandailah kau ni. Tanpa Atu cakap nak pesan apa, kau dah hantarkan kopi ni ”.dia mengaduk kopi yang aku buat dan meneguknya layaknya segelas air putih. Kemudian kembali menyalakan rokok salemnya dan menghisapnya dalam-dalam. Dia menahannya di dalam dada. Seolah ada nikmat yang maha dahsyat. Aku yakin jika dirontgen maka rongga dadanya dan seluruh isinya berwarna hitam. Kakek ini cerdik juga pintar bukan hanya bercerita. Tapi aku tak habis pikir bagaimana dia bisa tertipu dalam persoalan rokok ini. Dan tak lama dia hembuskan asap rokok tadi.
“ hari ini atu punya cerita yang bagus. Kau mau dengarkan kisah tentang abu nawas tidak ?”
“ ya…ya.Atu. saya mau sekali”. Aku sangat bersemangat setiap kali dia mulai bercerita. Ini akan menambah properti kamus wawasanku yang mungkin nanti aku wariskan kepada anak cucuku.
Akhirnya atu yusuf mulai bercerita. Mengukir mozaik kata dalam memoriku, membuka kotak khayalku sehingga semuanya begitu deskriptif. Cerita abu nawas bukan baru pertama kali ini aku dengar. Berbeda sekali ketika atu Yusuf yang menceritakannya.
“ Abu Nawas bingung bagaimana caranya untuk bisa menangkap angin. Dan dia juga bingung bagaimana cara dia membuktikan kepada raja bahwa yang dia tangkap adalah angin”. Intonasinya begitu pasti. Pelan penuh penghayatan. Memaku tubuhku yang rasa pukau mendengarkan cerita.
“ Akhirnya Abu Nawas mendapat petunjuk, dan dia putuskan untuk menemui Raja keesokan harinya”. Aku begitu khidmat mendengarkan bait demi bait kata yang dia ucapkan pada klimaks cerita. Aku tersihir oleh aura linguistik yang keluar dari baham kakek tua itu. Dan seperti biasa, ending cerita yang membuat aku tertawa terpingkal berhasil dia lakukan. Atu pun sudah tak bisa lagi menahan tawanya. Beliau terpingkal-pingkal tertawa sampai keluar air matanya. Makin lama tawanya makin keras sekali. Kami sering sekali tenggelam dalam tawa.
“ tak terasa matahari sudah berada pada tonggaknya. Panas terik merambah membakar seantero jagat Negri menara kembar. Atu bangkit dari duduknya . Pertanda waktu kunjungnya sudah habis. Dia merogo kantong celananya. Mengambil uang dua ringgit dari dompet lusuhnya dan menaruhnya di bawah cankir kopi.
“ kembalilah ke sini besok. Saya ingin mendengarkan cerita Atu yang lainya. Atu nggak usah khawatir deh nanti saya buatkan kopi spesial buat atu. Gratis lagi.”
“ Ye ke ?”.
“ Ya, betul. Iman janji deh”.
Dia berjalan meninggalkan kedai. Langkah demi langkahnya ku pandangi sampai bayangannya berbaur dengan fatamorgana. Seperti layaknya angin, Atu Yusuf hilang dari pandangan.
* * *
Ku pandangi ujung jalan yang biasa atu yusuf lewati. Sudah dua jam berlalu dari jadwalnya, atu yusuf belum muncul juga. Tak biasanya dia molor hari ini. Aku tahu benar dia tipikal orang yang tidak akan menelan ludahnya sendiri. Teman-teman duduknya sudah berkumpul di kedai Emak seperti biasa. Hanya atu yusuf saja yang belum nampak di antara mereka. Apa mungkin ada yang lebih penting yang harus dia kerjakan hari ini?.ku hilangkan semua keraguan yang berkelebat dalam pikiranku. Ku dekati teman-temannya.
“pak cik, kenapa atu’ Yusuf tidak kelihatan hari ini?”. Aku bertanya kepada Pak Cik Mansyur salah satu teman berkumpul Atu Yusuf.
“ memangnya kamu belum tau man. Dia sedang sakit sekarang. Kemarin Sepulang dari sini para tetangga melihat dia terjatuh pingsan di depan pintu rumahnya. Kasihan kakek tua itu”.
Aku sangat kaget mendengarnya. Tidak pernah aku melihat atu’ Yusuf mengeluh. Apalagi soal sakit. “ Sakit apa dia pak cik ?”. “tak tau sakit apa Atu Yusuf tuh. Kata tetangga yang mememukannya kemarin, dari mulutnya keluar darah banyak sekali.kasian Atu Yusuf”. Sekali lagi pak cik Mansyur hanya bisa mengiba saja.
Ternyata rongga paru-paru atu yusuf sudah tidak mampu lagi berjuang melawan asap rokok yang bersarang di dalam dadanya dan asap sialan itu telah mengumumkan bahwa dialah pemenangnya sekarang. Aku putuskan untuk untuk melihat keadaan kakek malang itu sekarang sambil membawa segelas kopi yang sudah aku janjikan kemarin. Aku melewati satu-satunya jalan yang menghubungkan kedai Emakku dengan rumah Atu Yusuf. Sampai tibalah aku di sebuah pintu tua yang di lapisi terali besi. Kemudian ku masuki ruangan kamar tiga setengah kali empat meter persegi yang klaustrofobis. Hening tak bergeming. Masih ku pegang erat secangkir kopi untuknya. Beberapa orang pun ada di sana menyaksikan kakek tua yang tertidur membaring membeku dalam ranjangnya. Kedua pelupuk matanya tertutup rapat. Kedua tangannya melipat ke dadanya.Sehelai kain kafan siap di tutupkan ke wajahnya. Aku segera mengerti bahwa aku sudah kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupku. Ia meninggal. Kakek tua itu sudah menutup buku ceritanya. Menghapus sejarah hitam putihnya. Sekarang kakek tua itu hanya tinggal cerita yang meninggalkan ribuan cerita. Tak ada lagi langkah-langkah kokoh yang selalu menapaki jalan berduri penuh liku, tak ada lagi tawa riang penuh Simfoni, tak ada lagi secangkir kopi hangat untuk dinikmati. Semuanya hanya tinggal kenangan di pagi hari. Kuletakan secangkir kopi O suam di atas meja di samping di mana ia berbaring. Masih hangat. Sehangat sinar mentari yang menyelinap masuk lewat celah jendela yang menyinari wajahnya yang pucat pasi. Tapi tersenyum.
Cerpen ini saya persembahkan
untuk keluarga di malaysia
Saya rindu kalian berdua
Saya rindu selangor